EP. 12 Agama Semar


Perjalanan satu bulan ke belakang ke beberapa tempat di pelosok Jawa, menghadapkan kami pada sebuah pertanyaan: jangan-jangan, agama apa pun yang masuk ke pulau Jawa, akan di-Semar-isasi? Pasalnya, di beberapa tempat tak terduga, kami kerap bertemu sosok Ki Semar, semisal di Pura atau Wihara. Jangan tanya tempat ritual mistis atau kuburan, karena sosok paling sakti dalam jagat Jawa itu, pasti ada di sana. Untuk menelusur Semar-isasi agama-agama di Jawa, tiga komunitas keagamaan kami angkat, yaitu: komunitas Hindu di Klaten, Muslim di Magelang dan Purworejo, dan Buddhis di Purwakarta dan Bogor.

(Disclaimer: tidak adanya pembahasan tentang Katolik dan Protestan bukan berarti keduanya lepas dari Semar-isasi, tapi lebih karena alasan praktis: kami belum melakukan pendalaman pada keduanya). 


Dari observasi atas ketiga komunitas tersebut, kami berasumsi bahwa keberadaan Ki Semar dalam kehidupan beragama orang Jawa, memiliki setidaknya dua fungsi: (1) ekspresi spiritualitas; dan (2) reinterpretasi agama. Kedua poin tersebut akan kami bahas berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama/masyarakat (Juni-Juli 2022), ditambah hasil observasi yang sudah terpublikasi (Buaban, 2021). 

***


Fungsi pertama, yaitu ekspresi spiritualitas bukanlah hal baru dalam pembahasan seputar Ki Semar. Aliran sufisme Islam, adalah bukti bagaimana mitos Semar telah merasuk ke dalam ekspresi serta menjadi model spiritualitas sufisme di Jawa (Wawancara MZK, 2022). 


Di gunung Tidar, contohnya, upaya Syeh Subakhi untuk mengislamkan ‘patok pulau Jawa’ tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Karena, walaupun hantu dan raksasa gunung Tidar tunduk dan takluk, terdapat sosok lain yang bersemayam di sana dan tidak dapat diganggu gugat. Sosok tersebut, menurut adalah Ki Semar (Wawancara Sumarto, 2022). Alhasil, petilasan gunung Tidar menjadi tempat yang unik, di mana Islam harus berbagi ruang dengan mitologi Jawa.


Ekspresi lain yang menarik perhatian adalah penempatan patung semar di tempat ibadah. Hampir setiap Pura di kabupaten Klaten memiliki sosok Semar bersandingan dengan Siwa, Ganesha, dan dewa-dewa utama lain dalam Hinduisme. Bahkan penempatannya pun menarik, Semar di letakkan setara dengan dewa-dewa lainnya. Pola ini menjadi lazim karena dalam konsep Hindu Jawa, Semar adalah sosok dewa yang tak tergantikan, ia lahir bersama Brahma dan Togog, sebagai salah satu dari tiga pilar dunia.


Di Wihara Kebun Persahabatan yang terletak di Purwakarta, sosok ki Semar bersinggungan dengan ajaran Buddhisme. Semar digunakan sebagai representasi Buddha sekaligus bentuk unik misionaris Therevada untuk bersinggungan dengan tradisi lokal dan masyarakat sekitar, yang notabene beragama Muslim dan Kristen (Buaban, 2021). Representasi Semar di Wihara Kebun Persahabatan bukan hanya ditemukan dalam bentuk abstrak, tapi juga secara wujud, karena kita dapat menemukan sosok Budha yang keSemar-semaran. Dengan kata lain, Semar menjadi wajah lain dari Buddhisme di Jawa. 


Spiritualitas Semar juga kami temukan dalam penghormatan akan kematian. Dalam Bahasa Jawa, makam atau kuburan memiliki istilah Sasonoloyo. Walaupun masyarakat awam memaknai kata tersebut sebatas ‘makam’, Sasonoloyo dalam bahasa Pali/Sangsekerta memiliki arti ‘tempat bersemayamnya agama’ (sasana berarti agama; alaya berarti tempat tinggal). Dan yang menaungi Sasonoloyo tidak lain adalah Ki Semar. Realita ini memberikan sebuah potret menarik bagaimana agama yang berkembang di Jawa masih erat berkelindan spiritualitas kejawen. Kehidupan adalah mempersiapkan kesuwungan (kasunyatan); dan dalam konsepsi Jawa, tidak ada yang menghayati kesuwungan lebih dalam dari Ki Semar. 

***


Pembahasan terkait kejawen menghantarkan pada poin kedua, yaitu reinterpretasi agama. Dari hasil wawancara kami dengan Pak Wanto, Parisada Hindu Dharma (PHD) Pura Satya Dharma Putra di Klaten, kami menemukan fakta bahwa Kejawen dan falsafah Semar juga hadir dalam interpretasi Hindu Jawa. Terkait Sasonoloyo, beliau menggambarkan:


“Saya berhasil mengajak warga [Jiwan] untuk membersihkan makam, dua kali dalam sebulan. Biasanya hari minggu pertama dan ketiga. Tujuannya ya untuk mengingatkan. Kita hidup ujungnya adalah mati, dan makam akan menjadi tempat tinggal kita selanjutnya, tujuan utama [kehidupan], ya ke sana”.


Ungkapan Pak Wanto memberikan sebuah pembacaan baru terkait konsep kematian dalam tradisi Hindu Jawa. Kematian, yang dalam kepercayaan Hindu merupakan awal baru dari proses reinkarnasi, diinterpretasikan sebagai ‘tujuan utama dari kehidupan’. Oleh karenanya, Sasonoloyo menjadi tempat penting yang harus dijaga bersama–sebuah persepsi yang sebetulnya tidak menonjol (atau bahkan tidak ada) dalam Hinduisme. Penjelasan Pak Wanto memberikan kesan bahwa dalam tradisi Hindu Jawa, interpretasi agama harus berjalan beriringan dengan kepercayaan lokal yang digawangi, tidak lain oleh Ki Semar sendiri. 


Konsepsi suwung yang kental dengan falsafah Ki Semar kami temukan pula ketika kami berbincang dengan Pak Sumarto, Juru Kunci Situs Perigi di Banyuurip, Purwokerto. Dalam ungkapannya:

“Orang sakti jaman dulu, kalo mati tidak meninggalkan apa pun, mereka moksa karena sudah dapat kesempurnaan. Ketika Islam datang, kok ya pas. Karena dalam Islam pun kuburan sebaiknya tidak dikasih nama biar lama-lama hilang”


Bincang-bincang dengan Pak Sumarto menghantarkan pada asumsi bahwa beberapa tradisi Kejawen (dalam konteks ini tradisi pemakaman), memiliki kemiripan dengan tradisi Islam. Kemiripan ini lantas menjadi jalan reinterpretasi agama yang hadir dalam bentuk sufisme dan mistisisme Islam yang kuat mengakar di Jawa. 


Contoh lain yang dikemukakan Pak Sumarto adalah tentang sosok orang bijak [dalam Islam] yang terkadang tampil sebagai orang gila/orang miskin. Menurutnya, ini adalah salah satu ajaran Semar untuk tidak memandang seseorang dari tampilan luar. Menurutnya: “Orang gila hadir untuk menyindir ustadz-ustadz yang sering memprovokasi konflik, kalo orang gila saja bisa bijak, kenapa ustadz tidak bisa”. Satu lagi kelebihan orang gila menurut Pak Sumarto adalah, “mereka mengerti bagaimana harus diam (suwung)”. 


Reinterpretasi lainnya hadir dalam tradisi Buddhis, kali ini dalam bentuk reinterpretasi ritual. Setiap agama, termasuk Buddhis, memiliki tanggal tertentu yang dianggap penting dalam pelaksanaan ritual (misal Uposatha, yang dilaksanakan setiap bulan purnama). Uniknya, komunitas Buddhis di Jawa, termasuk di Bogor (studi kasus Wihara Sakyawanaram), memiliki tanggal ritual yang disesuaikan dengan penanggalan Jawa. Salah satu yang terkenal adalah weton Jumat Kliwon yang dipercaya sebagai waktu turunnya Khadam Semar dan memberi keberuntungan. Di Wihara Sakyawanaram, tanggal inilah yang dipilih untuk ritual: penghormatan sekaligus mencari berkah–kepada Buddha, bahkan mungkin juga pada Ki Semar.

***


Dari beberapa kasus yang kami temui, termasuk ekspresi spiritualitas dan reinterpretasi agama (baik reinterpretasi ajaran ataupun ritual), memperkuat asumsi bahwa Semar-isasi, atau proses adaptasi dan negosiasi agama yang berkembang di Jawa, tidak dapat mengesampingkan tradisi lokal yang hidup di sana. Dalam sudut pandang puritanisme mungkin akan dianggap menyimpang. Namun, kita juga tidak dapat menafikan fakta bahwa agama yang dapat bertahan adalah agama yang mampu memberikan ruang dan menjawab persoalan dengan bahasa yang dipahami. Dan pada beberapa kasus yang kami temui, bahasa dan falsafah Ki Semar membantu agama untuk masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa. 


Tulisan oleh: Aliyuna Pratisti (6 Juli 2022)


Sumber:

Buaban, J. (2021). Belonging without Conversion: The Establishment of Buddhism in Muslim Village. Asia Social Issues, 14(2). Article 243548 (12 hal). 

Wawancara dengan Majlis Zikir Kraton. (Pekalongan, 16 Juni 2022). Pewawancara: Aliyuna Pratisti

Wawancara dengan Wanto, Parisada Hindu Dharma Pura Satya Dharma Putra (Klaten, 11-12 Juni 2022). Pewawancara: Jesada Buaban dan Aliyuna Pratisti

Wawancara dengan Sumarto, Juru Kunci Situs Perigi, Banyuurip (Purwokerto, 17 Juni 2022). Pewawancara: Jesada Buaban dan Aliyuna Pratisti

Comments