Pesantren Waria Al-Fatah menarik banyak perhatian karena menjadi semacam oasis dalam gersangnya pengakuan hak-hak gender minoritas di Indonesia. Alhasil, siang itu kami menemukan diri menyusuri gang-gang kecil Banguntapan, Yogyakarta, dengan mengantungi dua pertanyaan: (1) bagaimana Pesantren Al-Fatah memosisikan diri dalam Islam? dan (2) bagaimana Pesantren Al-Fatah memandang pengakuan atas hak-hak LGBT di Indonesia? Setelah berbincang dengan Shinta Ratri, pengasuh pondok Pesantren Al-Fatah, serta menggali berbagai dokumen serta literatur terkait (Raymond, 2013; Emont, 2015), kami mendapatkan fakta bahwa kompromi yang harus dilakukan oleh kelompok Waria–baik dalam posisi Islam ataupun dalam pengakuan hak LGBT–menandakan bahwa inklusivitas yang diklaim telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa, belum sepenuhnya hadir.
***
Keberadaan Pesantren Waria Al-Fatah membuka ruang bagi interpretasi ulang relasi Islam dengan wacana LGBT. Namun, alih-alih membahas tentang bagaimana Islam memandang LGBT–yang niscaya telah banyak dibahas artikel dan tulisan lain–kami lebih ‘penasaran’ pada alasan mengapa komunitas Waria memilih agama sebagai ruang eksistensi mereka. Jawaban atas kepenasaran kami dapat diurai melalui tiga poin:
Pertama, pengalaman canggung dalam menjalankan praktik ibadah keseharian adalah alasan utama. Shinta, sapaan akrab bagi Shinta Ratri, memberikan contoh sulitnya posisi Waria dalam melaksanakan salat berjamaah. “Banyak yang tidak nyaman, bahkan orang lain akan menjaga jarak dari kami karena takut batal dan sebagainya. Belum lagi banyak anak-anak yang sering mengikuti [mengolok-olok], membuat suasana di masjid menjadi terganggu”, ungkap Shinta kepada kami. Pengalaman ini mendorong antusiasme Shinta dan kelompoknya untuk mendirikan Pesantren Waria sebagai ruang untuk beribadah sekaligus mempelajari ajaran Islam lebih mendalam. Komunitas Waria memandang bahwa Pesantren memberi jalan tengah, atau kompromi, bagi pelaksanaan ritual-ritual berjamaah yang menjadi salah satu bentuk praktik keagamaan dalam Islam.
Kedua, persepsi spiritualitas adalah poin lain yang dapat menjelaskan persinggungan identitas Waria dengan ekspresi keagamaan Islam. Persinggungan ini tergambar secara kuat ketika Shinta mengungkap “bahwa spiritualitas seseorang melekat sejak ia dilahirkan”–sebuah pandangan yang mengindikasikan bahwa identitas Waria (ataupun identitas gender lainnya) diberikan oleh Pencipta. Interpretasi ini, didukung kutipan “jika boleh memilih, kami sebetulnya tidak mau menjadi Waria” (KickAndy, 2021), berujung pada asumsi bahwa Waria diciptakan oleh Tuhan. Narasi ini memberikan landasan bahwa Waria memiliki ruang dalam interpretasi agama dan bukan ‘penyakit’ yang harus disembuhkan.
Poin ketiga mengacu pada penerimaan, khususnya penerimaan dari kalangan pemuka agama yang memberi validitas atas poin sebelumnya–sebagaimana Shinta mengungkap “jika para kiai dan ustaz mengakui, maka pasti Islam memiliki ruang untuk kami”. Pendirian Pesantren Al-Fatah sendiri adalah Kiai Hamroli, yang pada tahun 2006 mengajak komunitas Waria untuk mendirikan Pesantren sebagai bentuk apresiasi atas inisiatif mereka dalam membantu korban bencana gempa saat itu. Al-Fatah berarti ‘pembuka jalan’, dipilih simbol atas perjuangan identitas minoritas untuk mendapatkan pengakuan. Selain Kiai Hamroli, Ustaz Arif Nuh Safri adalah pemuka agama lain yang memimpin berbagai kajian Islam di Pesantren Al-Fatah. Penerimaan dari tokoh agama memberi ruang bagi Waria untuk menjadi bagian dari masyarakat muslim, namun walaupun demikian, penolakan dari kalangan konservatif masih terjadi sebagaimana dilakukan oleh Front Jihadis Indonesia (FJI) pada tahun 2016. Shinta mengungkap, “Pesantren harus tutup selama empat bulan karena kami tidak merasa aman”. Kejadian ini menjadi pemicu bagi Shinta dan komunitasnya untuk merangkul jaringan aktivisme yang lebih luas, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), jaringan Gusdurian, Nahdatul Ulama, juga dari kalangan akademisi. Dengan kata lain, dukungan dari tokoh agama saja tidak dapat menjamin posisi Pesantren Waria
***
“Hukum tidak menolak, tapi juga tidak melindung kami” – Shinta Ratri
Penolakan FJI dan minimnya perlindungan hukum, menjadi indikasi bahwa keberadaan Pesantren Waria di Indonesia masih dalam posisi marginal. Hukum di Indonesia, walaupun telah memberikan ruang untuk perubahan kelamin melalui Undang-undang Nomor 24 tahun 2014, pasal 56 ayat 1, masih memahami gender secara rigid: perempuan atau laki-laki–di luar itu, tidak mendapatkan perlindungan. Alhasil, Waria (dengan beragam definisinya) berada di luar perlindungan hukum. Kondisi ini mengharuskan Pesantren Waria untuk membangun jaringan lebih luas dari konteks relasi agama sebagai upaya perlindungan bagi komunitas; contohnya kerja sama dengan berbagai pihak untuk membangun rumah aman, memberikan edukasi paralegal, penanganan trauma psikologis, dan konseling keluarga. Namun, menurut Shinta, “posisi Waria lebih baik dari komunitas gay dan lesbian”. Pernyataan ini menghantarkan pada pertanyaan kami yang kedua, yaitu tentang pandangan Pesantren Al-Fatah atas pengakuan hak-hak LGBT secara luas.
Ternyata, kami mendapatkan jawaban tak terduga atas pertanyaan di atas. Bahwa walaupun memiliki simpati atas perjuangan komunitas Gay dan Lesbian, Pesantren Al-Fatah hanya memberi ruang pada Waria – dan tidak pada komunitas gender minoritas lain. Menurut Shinta “identitas kami (Waria) telah dikonfirmasi lewat tradisi di Indonesia yang telah mengenal waria dahulu kala, sehingga masyarakat lebih dapat menerima, namun Gay dan Lesbian berbeda, masyarakat memandang mereka sebagai tradisi dari Barat sehingga belum dapat diterima”. Seperti pil pahit, kondisi ini harus ditelan oleh komunitas Waria sebagai bentuk kompromi agar dapat diterima masyarakat. Shinta mengakui realitas ini tidak ideal, dan berharap penerimaan lebih luas atas komunitas LGBT di Indonesia. Menurutnya, agama memiliki keterbatasan dalam ruang interpretasi, seperti halnya ketika ia menyatakan bahwa spiritualitas mengacu pada gender laki-laki, perempuan, atau waria–tanpa menyebut kehadiran spiritualitas pada Gay dan Lesbian. Gambaran ini memberikan fakta bahwa upaya pengakuan hak yang digaungkan, tidak mengacu pada konsep LGBT secara luas.
***
Konsep inklusi, telah menjadi klise: digunakan berulang dan pudar maknanya. Realita sosial di Indonesia pun demikian, inklusi digaungkan di setiap sendi tanpa jaminan hukum dan pengakuan hak yang nyata. Kasus Pesantren Waria Al-Fatah adalah contoh: bahwa tanpa pengakuan dan perlindungan hukum yang jelas, kelompok gender minoritas tetap rentan dan harus bertahan melalui kompromi demi kompromi. Kompromi atas bentuk hak kebebasan beribadah dilakukan melalui pendirian Pesantren Waria–agar komunitas Waria memiliki ruang untuk ibadah berjamaah. Bentuk pemisahan ini secara nyata bukanlah pemenuhan hak kebebasan beribadah, tapi sebuah inklusivitas sempit yang memberikan ruang bagi identitas minoritas, lalu mendesaknya untuk berada tetap berada di pojokkan (marginal). Kompromi terkait relasi sosial memunculkan contoh lebih buruk lagi, yaitu ketika sebuah komunitas harus menegasikan komunitas lain agar diterima secara luas oleh masyarakat. Kompromi lain terkait interpretasi agama memberikan hambatan utama dalam penerimaan, terlebih ketika kita menyadari bahwa perdebatan intra-agama (terkait klaim paling benar) teramat sulit menemu titik terang. Akhirnya kita akan senantiasa menerka-nerka, ketika satu pintu (melalui afiliasi agama) telah terbuka, apakah akan membuka pintu bagi identitas gender minoritas lain?
(Aliyuna Pratisti, 21 Mei 2022)
Sumber Bacaan:
Emont, J. 2015. Transgender Muslims Find a Home for Prayer in Indonesia. The New York Times. Diunduh 21 Mei 2022
Rayman, N. 2013. Inside Indonesia's Islamic Boarding School for Transgender People. TIME.com. Diunduh 21 Mei 2022.
KickAndy!. 2021. Jingga di Antara Hitam & Putih. https://www.youtube.com/watch?v=gvsgRU2PEiw. Diunduh 21 Mei 2022.
photo: ig.Shintaratri17 (6 Januari 2019)
Comments
Post a Comment