Narasumber: Y.M. Bhante Khemacaro Mahathera
Pewawancara: Tee Jesada (18 Maret 2022)
Transkrip oleh: Ardianto
Vihara Gunung Pati terletak di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah. Saya (Tee) mengunjungi vihara ini untuk pertama kalinya bersama bhante Ditthisampanno pada Oktober 2021. Lebih dari 5 bhante, bhikkhuni, dan samanera, tinggal di sini. Chanting pagi dan sore adalah rutin. Dalam wawancara ini, Bhante Khemacaro bercerita tentang sejarah Vihara, bagaimana Vihara dapat berkembang dengan bantuan orang dari kepercayaan lain dan bagaimana bhante sendiri harus beradaptasi dengan lingkungan.
(1) Siapa: mulai bangun Vihara Gunungpati?
Pembangunan vihara ini dimulai pada tahun 1994 akhir dan selesai kira-kira pertengahan 1995, yang diprakarsai oleh YM Bhante Nyanasuryanadi Mahathera dan YM Bhante Nyanaputra yang sudah lepas jubah. Cita-cita awal pembangunan vihara ini menurut cerita, karena saya waktu itu masih sangat junior, bahkan saya masih samanera, adalah sebagai tempat yang dipersiapkan untuk masa tua para bhikkhu kelak. Jadi semacam panti jompo istilahnya, pokoknya untuk merawat bhikkhu-bhikkhu nanti di usia tua setelah fisiknya tidak begitu kuat.
(2) Pendukung: vihara ini dari mana?
Saya tidak tahu persis karena waktu itu saya masih samanera dan pada saat pembangunan vihara ini dimulai saya sudah mencoba berlatih di Pekanbaru, Sumatra. Tetapi berdasarkan informasi bahwa vihara ini 100% didukung oleh Bapak Go Lai Jun, di mana beliau mempersembahkan kebajikan untuk mendiang orang tuanya, sebagai pelimpahan jasa kepada mendiang orang tuanya. Jadi sekali lagi saya tidak tahu persis pembangunan awalnya tapi saya mengikuti progres pembangunan vihara karena saya dari luar daerah, luar propinsi bahkan luar pulau.
(3) Kapan: Bhante datang ke sini?
Saya datang pertama kali tahun 1995. Pada tahun 1995 setelah saya mencoba 1 tahun di Pekanbaru terus saya datang, saya melihat sudah jadi. Tetapi tahun 1995 itu pun sebentar saja pada tahun itu. Sebentar saya pergi ke Pekanbaru terus di akhir tahun di-upasampada seperti yang kemarin saya ceritakan.
Ini ada kejadian yang cukup unik menurut saya. Jadi pada tahun 1997 Bhante Putra, yang mengawasi hampir 90% pembangunan Vihara Gunungpati ini, beliau lepas jubah. Pada saat beliau lepas jubah, saya masih di Thailand karena tahun 1995 akhir sampai tahun 1998 awal saya di Thailand. Pada bulan Februari 1998 saya datang ke vihara ini, balik ke Semarang maksudnya, terus tepat di akhir bulan Februari, saya masih ingat di 28 Februari 1998, saya datang ke vihara ini dan saya melihat bangunan vihara sudah berdiri tetapi yang lain belum ada. Kanan kiri masih semak belukar. Cuma satu bangunan induk ini.
Waktu itu saya mencoba bertekad untuk mengelola, jadi memang butuh perjuangan yang tidak mudah. Terus setelah saya berada di sini, saya mencoba berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar vihara ini. Tidak ada yang beragama Buddha. Terus saya mendekatkan diri dengan masyarakat dan sesuatu yang luar biasa, parami vihara ini, pada tahun 1998 kami bersama masyarakat mengajukan ijin ke pemerintah kota. Itu mendapatkan ijin resmi sebagai tempat ibadah agama Buddha. Memang tahun 1998 itu benar-benar saya tinggal berdua dengan teman seperjuangan saya, beliau juga sebagai mantan, sekarang adalah sebagai Penyelenggara Buddha (salah satu posisi pegawai negeri Kementerian Agama) di Kabupaten Temanggung. Lepas jubah pada tahun 1998 akhir. Di sini bersama-sama berdua saja, tidak ada pembantu, pokoknya benar-benar berlatih semampunya untuk mengelola dan semampunya untuk mengelola diri sendiri juga.
(4) Makanan: dapat dari mana?
Ini pertanyaan yang sangat menarik. Sebenarnya buka-bukaan saja supaya nanti siapa tahu tulisan/penelitian ini dibaca oleh khalayak ramai/umum. Kalau makan benar-benar dari sokongan Vihara Mahabodhi, cuma yang menjadi keunikannya adalah saya masak sendiri karena tidak ada penjaga dan jujur saja kompor itu, untuk alat masak itu, taruh di dalam vihara nanti pagi atau setelah hujan kita bawa keluar, sore kita bawa masuk jadi berdua itu betul-betul mencoba mengelola. Benar-benar ada semboyan (ungkapan) kalau bukan orang gila pasti tidak betah di sini. Jadi hampir 1 tahun memang berdua saja tapi mulai bulan Mei 1998 beliau tugas di Pekanbaru, sehingga Mei 1998 hingga Maret 1999 saya benar-benar sendiri di sini. Sendirian.
Saya cukup lama di sini, 22 tahun. Tukang masak yang membantu masak ini sudah yang ketiga. Yang pertama itu beliau memang karena anaknya sudah menikah semua sehingga beliau pulang kampung. Yang kedua juga demikian. Ini yang ketiga. Ini hampir 7 atau 8 tahun di vihara ini. Tukang yang pertama betul-betul butuh perjuangan kalau mengingat jasa beliau karena beliau tidurnya di gudang kecil yang sangat tidak layak sekali. Terus akhirnya kami bangunkan tempat dari kayu kecil di luar tempat tinggal kami itu di sebelah utara. Terus pada tahun 2007 atau 2008 sepertinya baru kami punya tempat untuk memasak yang cukup.
(5) Hubungan antara agama:
Apakah harus beragama Buddha untuk bekerja di sini, atau agama lain bisa juga?
Kalau untuk membantu di vihara memang saya utamakan agama Buddha dari kampung sambil menolong kesehariannya walaupun istilahnya mengabdi, kami mencoba membantu kecil-kecilan karena prinsip saya secara pribadi adalah banyak umat Buddha yang di kampung secara ekonomi belum tersentuh dengan baik.
Vihara dibantu oleh orang Kristen
Ceritanya lucu. Suatu ketika saya di Vihara Mahabodhi, vihara yang kecil di Semarang. Sekarang sudah cukup megah menurut saya. Saya kalau pagi itu punya kebiasaan habis puja itu menyapu, walaupun itu di kota ada pohon-pohon yang berjatuhan daunnya. Lewatlah umat tersebut. Terus beliau bertanya kepada saya, “Biksu menyapu?”
Ya.
“Kenapa menyapu sendiri?”
Ya tidak apa-apa.
“Biksu saya mau meminta doa.”
Saya terkejut, agama saudara apa?
“Kristen Protestan.” Pantekosta lagi. Aliran sangat keras. Saya tidak rasis. Saya kaget, lho kok minta doa kepada saya?
Siapa tahu ada jodoh katanya. Saya waktu itu menolak karena saya yakin beliau main-main, bercanda, bergurau. Terus saya tanya apakah sudah menghubungi pemimpin spiritualnya.
“Sudah, tapi siapa tahu perubahannya nyata.”
Saya juga senyum-senyum dalam hati saya. Kalau saya berdoa bisa sukses, pasti saya sudah sukses dari dulu. Sambil bercerita dengan beliau, saya bertanya apakah doa saya manjur?
“Tidak apa-apa Biksu.” Panggilnya Biksu karena dia beragama lain. Tapi kalau tidak sesuai dengan harapan saya mohon maaf karena kami punya keyakinan yang berbeda. Beliau tidak apa-apa. Mungkin karena keyakinan dia. Ini betul-betul aneh, saya sendiri tidak punya apa-apa. Keyakinan dia yang luar biasa atas doa saya mungkin usahanya itu maju sehingga beliau berbuat baik meneruskan pembangunan kuti dan saya waktu itu dipinjami mobil yang sangat baru dan cukup mahal. Hampir 4 tahun. Jadi memang hanya 1 orang itu dan saya juga bingung sampai sekarang kenapa ada orang yang nekat terhadap saya. Ini jujur aneh saja.
(6) Nama Vihara: diubah sesui lingkungan
Saya ingin menambahkan, vihara ini namanya bukan Vihara Gunungpati. Vihara ini namanya Vipassana Arama. Kenapa saya berani memberikan nama Vihara Gunungpati. Itu pada tahun 1998 saya sering naik turun dari vihara ini ke vihara kota untuk membabarkan ajaran Dhamma terutama hari Minggu dan kadang ada doa yang diminta oleh umat. Saya selalu naik bus. Angkutan kota. Nah kondektur (kru bus) itu mengatakan kepada saya: “Ayo Biksu, Vihara Gunungpati ini langsung.”
Terus berkali-kali, hampir tiap Minggu saya naik bus. Ada bus legendaris bahkan saya tulis sejarah Gunungpati, tapi saya hanya post di facebook saya. Itu namanya bus Mulio. Sekarang sudah mati, maksudnya sekarang sudah banyak diganti oleh bus pemerintah yang dulu sangat sepi. Itu 1 jam sekali lewat bus itu. Saya selalu naik bus itu, kru dari pengemudi itu selalu mengatakan Vihara Gunungpati. Seiring perjalanan waktu sekian lama, kalau masyarakat baru menyebut Vipassana Arama, sulit cara sebutnya.
Tapi setelah saya ganti nama Vihara Gunungpati, mereka lebih familiar. Dan paling lucu adalah ijin resminya Vipassana Arama. Ijin resminya dari pemerintah itu Vipassana Arama. Tetapi saya memberanikan diri untuk merubah dan memberi nama Vihara Gunungpati karena berada di Kecamatan Gunung Pati. Dan itu menjadi trade mark yang luar biasa bahkan menjadi brand vihara ini. Ini kejadian yang lucu. Saya bukan hanya 1 atau 2 tahun naik bus itu, tapi tiap minggu. Selalu karena lidah menyebut Vihara Vipassana Arama sulit, karena ke kecamatan dan karena dari kota ke sini jaraknya kira-kira 15-20 km dan harus mutar. “Vihara Gunugpati Biksu, ayo langsung.”
Publish: 18 Juni 2022
Photo: dari Brother Shaw (Google Map, Vihara Gunungpati)
Comments
Post a Comment