EP.10 Dari Megawati ke LGBT: Kuasa Elite dalam Pseudo-Demokrasi

Ternyata, terdapat benang merah yang menghubungkan antara Megawati dan LGBT. Dalam dua kasus serupa tapi tak sama (pro-kontra Presiden Perempuan dan pro-kontra LGBT) terdapat sebuah kesamaan: yaitu ketika kuasa elite menegasikan opini populer. Artikel singkat ini akan membahas kedua kasus tersebut untuk memahami relasi antara kuasa elite Islam konservatif dan penyangkalan opini populer. Melalui refleksi atas pola berulang di atas, asumsi bahwa demokrasi di Indonesia adalah semu (pseudo-demokrasi), dikaji ulang dalam dua pertanyaan: (1) Mengapa negara yang memiliki pemimpin perempuan (baca: menghargai kesetaraan gender) masih menolak eksistensi LGBT?; dan (2) Apakah sebuah sistem layak disebut demokrasi apabila [dalam praktiknya] elite konservatif senantiasa menyangkal opini populer?

***


Runtuhnya rejim Orde Baru di Indonesia pada 1998 menghantarkan perayaan demokrasi besar-besaran setahun kemudian. Tercatat terdapat 48 partai politik mengikuti putaran pemilu 1999, jumlah ini melonjak tajam karena selama 32 tahun Orde Baru hanya terdapat 3 partai saja. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengusung Megawati sebagai calon presiden memenangkan pemilihan legislatif dengan mendapat 33,74% suara. Dan sewajarnya, Presiden berasal dari partai pemenang Pemilu. Namun, mekanisme pemilihan presiden yang kala itu masih melalui voting Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), memberi peluang pada kalangan elite Islam konservatif untuk mendorong narasi penolakan terhadap pemimpin perempuan. Dalil yang digunakan adalah hadis riwayat Imam Bukhari, "Tidak akan beruntung suatu masyarakat yang menyerahkan urusan kepemimpinannya pada wanita" (dalam Adam, 2004). 

Alhasil, Megawati dikalahkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), calon presiden yang diusung ‘Poros Tengah’, gabungan beberapa partai politik beraliran Islam. Sebagai bentuk kompromi, Megawati diberi posisi Wakil Presiden. Walaupun menurut beberapa pandangan (Adam, 2004; Aspinall, 2010; Buehler, 2014), kompromi tersebut juga ditujukan untuk meredakan kemarahan massa yang berpandangan bahwa Megawati merupakan representasi dari pilihan rakyat, sedangkan kemenangan Abdurrahman Wahid merupakan hasil permainan elite semata. 

Bentuk penyangkalan elite atas opini populer terulang kembali dalam diskursus Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang mulai mengemuka di Indonesia pada awal 2000an. Kronologi ini berkorelasi dengan ditetapkannya Hari Solidaritas Nasional Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, dan Queer/Questioning (LGBTIQ) sejak tanggal 1 Maret 2000. Namun, selama rentang dua dekade, tidak terdapat perubahan signifikan atas penerimaan atas hak-hak LGBTIQ di Indonesia. Salah satu faktor utama adalah penolakan elite Islam konservatif yang digaungkan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 57 tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Melalui fatwa ini MUI secara tegas menolak eksistensi LGBTIQ, termasuk beragam interpretasinya.

Tapi yang menarik perhatian adalah fakta bahwa penolakan elite keagamaan tidak sejalan dengan opini masyarakat. Hal ini terungkap dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyatakan “kendati disebut bertentangan dengan agama, 57,7 % publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di negara kita” (BBC Indonesia, 2018). Angka tersebut menjadi cerminan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia semakin terbuka untuk menerima LBGTIQ. Namun, dibalik berbagai upaya penerimaan (baik melalui interpretasi teks Quran dan Hadist, diskusi publik, juga publikasi karya ilmiah), kalangan elite konservatif tetap bersikukuh dengan penolakannya. 

***

Pada akhirnya, Megawati memang mendapatkan haknya sebagai Presiden pada tahun 2001. Tapi itu bukan karena elite konservatif melakukan revisi atas penolakan presiden perempuan sebagaimana digaungkan sebelumnya; tapi praktis karena elite tidak menerima gaya kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Dunia lantas mengapresiasi Indonesia sebagai negara yang memiliki presiden perempuan–sebuah pengakuan yang ironis sebetulnya, karena dua tahun sebelumnya, elite konservatif memojokkan perempuan sebagai warga negara tidak kompeten. 

Alur kronologis ini menjadi penjelas atas pertanyaan pertama tentang ketidaksinambungan wacana gender di Indonesia. Bahwa eksistensi presiden perempuan di Indonesia, bukanlah hasil dari suara populer ataupun diskursus kesetaraan gender, tapi konstruksi elite konservatif semata. Pandangan ini dipertegas oleh fakta bahwa pada beberapa pemilihan umum selanjutnya, Megawati adalah satu-satunya perempuan yang masuk [kembali] dalam daftar calon presiden. Sebuah kondisi yang mengkonfirmasi bahwa kesetaraan gender belum diterima secara substansial dalam ruang politik di Indonesia.

Ketika kasus penolakan presiden perempuan secara nyata memberi contoh kuasa elite konservatif Islam dalam legislatif, maka fatwa MUI terkait LGBTIQ merupakan contoh kuasa elite konservatif Islam dalam ruang interpretasi agama. Fatwa tahun 2014 menentang bukan berseberangan dengan opini masyarakat, tapi juga menolak pembacaan tentang Fiqh Seksualitas yang mulai dikaji oleh beberapa ulama, seperti Kiai Haji Husein Muhammad, Ustadz Arif Nuh Safri dan Kiai Marzuki Wahid. 

Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah (dalam Muhammad et al, 2011), berargumen bahwa pembahasan LGBT dari sudut pandang Islam, akan membantu masyarakat untuk “memahami kegelisahan umat, dan membongkar isu seksualitas yang banyak dianggap tabu”. Namun, ruang diskusi publik ini menjadi isapan jempol belaka mengingat kuatnya konservatisme elite Islam dalam mendorong penolakan hingga kriminalisasi komunitas LGBT.

***

Lalu apakah kuasa elite konservatif yang membabi buta memiliki tempat dalam demokrasi? Jawabannya, tentu tidak. Volpi (2004) mengategorikan pemerintahan bentuk ini dalam Pseudo-Demokrasi, atau demokrasi semu. Pseudo-Demokrasi banyak ditemukan di negara Muslim yang tengah melakukan transisi demokratis, namun mengalami kemandegan karena struktur elite konservatif yang dominan. Alih-alih mewujudkan partisipasi aktif dan penjaminan hak asasi manusia, negara Pseudo-Demokrasi kerap menegasikan opini yang berseberangan dengan kepentingan elite konservatif. Sayangnya, Volpi (2004) juga mengindikasikan adanya instrumentalisasi agama untuk mempertegas kuasa elite konservatif dalam ranah sosial-politik. 

Dengan kata lain, pola berulang atas penolakan elite konservatif atas wacana-wacana progresif di Indonesia, merupakan trajektori Pseudo-Demokratik yang harus disadari. Mengacu pada dua contoh kasus di atas, refleksi atas kesetaraan gender dan penegakkan demokrasi di Indonesia, rasanya masih jauh panggang dari api.

(Aliyuna Pratisti, 6 Juni 2022)

Sumber:

Adam, A. M. 2004. Megawati, Satu-satunya Perempuan Presiden. Kompas: 28 Desember 2004. http://lipi.go.id/berita/megawati-satu-satunya-perempuan-presiden/246   

Aspinall, E. 2010. Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri Presidencies, dalam E. Aspinall & G. Fealy (eds.). Indonesia: Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch. Canberra: ANU E-Press, hal. 119–34. 

BBC Indonesia. 2018. Mayoritas rakyat Indonesia menerima hak hidup LGBT. BBC Indonesia: 25 Januari 2018. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42813753   

Buehler, M. 2014. Elite Competition and Changing State-Society Relations: Shari’a Policymaking in Indonesia. dalam M. Ford & T. Pepinsky. (Eds). Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Ithaca: Cornell University Press. Hal: 157-175.

Muhammad, H., Mulia, S.M., & Wahid, M. 2011. Fiqh Seksualitas: Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas. PKBI. (dapat diunduh pada tautan: https://archive.org/download/FIQHSeksualitas/FIQHSeksualitas.pdf)

Volpi, F. 2004. Pseudo-Democracy in the Muslim World. Third World Quarterly, 25 (6): 1061-1078. https://www.jstor.org/stable/3993751?seq=1

Sumber Gambar: 

GM Sudarta, Kompas.com. Hari Ini 18 Tahun Lalu, Megawati Soekarnoputri Torehkan Sejarah Politik Indonesia. https://nasional.kompas.com/read/2019/07/23/09404721/hari-ini-18-tahun-lalu-megawati-soekarnoputri-torehkan-sejarah-politik?page=all

Comments