EP.06 Menentang Mono Simbolisme Kerudung

 

Awalnya, tidak pernah terlintas untuk menulis tentang kerudung (atau dikenal pula dengan istilah Jilbab dan Hijab)(Endnote 1) atas alasan: (1) tema ini telah terlampau banyak diangkat sebagai bentuk representasi identitas perempuan Muslim (Erickson, 1983; Motha, 2007; Zinira, 2017, Smith-Hefner, 2011); (2) berbagai sudut pandang, mulai dari penjelasan tesktual keagamaan hingga pendekatan teoretis (mulai dari politik, ekonomi, studi budaya, hingga–tentu saja–feminisme) telah menjelaskan hampir setiap gagasan serta konseptualisasi tentang kerudung (El-Guindi, 1999; Zahedi, 2007; Fadil, 2011; Chatterjee, 2012; Yardim et al, 2012).
.
Dengan kata lain, hampir tidak ada terra incognita. Hingga sebuah perjalanan membawa kami ke sebuah dusun Buddhis di Temanggung bernama Krecek. Di sana, kerudung hadir dalam bentuk yang sangat membumi: untuk memenuhi fungsi primer pakaian sebagai pelindung dari terik panas matahari. Potret ini menggelitik sudut pandang kami untuk mengkaji ulang persoalan kerudung dari dua sisi kritik, yaitu (1) membaca kembali kerudung dari segi fungsi primer non-reliji; dan (2) menentang [mono] simbolisme kerudung.
.
Fungsi Primer Kerudung di Dusun Krecek
Krecek adalah dusun wisata bernuansa Buddhis yang kental dengan seratus persen warganya beragama Buddha. Karena terbiasa menerima tamu, para warga tampak sangat terbiasa dengan keberadaan orang baru yang duduk-duduk di beranda–seperti yang kami lakukan pagi itu–tatkala semua orang di desa bergegas pergi ke ladang atau mencari rumput.
.
Ketika matahari baru naik sepenggalah, kami melihat beberapa orang ibu berjalan beriringan dengan membawa alat-alat untuk mencari rumput. Melihat kerudung yang mereka kenakan, kami lalu beranggapan bahwa mereka datang dari dusun tetangga yang beragama Muslim. Namun, ternyata perkiraan kami salah–mereka adalah warga dusun Krecek. Lantas mengapa mereka mengenakan kerudung sebagaimana kebiasaan Muslim? Karena penasaran, kami mencoba berbincang dan berhasil mendapatkan jawaban bahwa kerudung digunakan “agar tidak kepanasan”. Sebuah jawaban jujur yang cukup logis dan rasional.
.
Mendapatkan jawaban tak terduga tersebut, kami lalu teringat tradisi pakaian di wilayah gurun, seperti Talgumust (turban) dan Aleshu (turban khas berwarna biru indigo) yang digunakan oleh laki-laki suku Tuareg (Endnote 2) di Sahara untuk menaklukkan bentang alam yang ekstrem. Rassmussen (dalam Chico, 2003: 433) menyebutkan tiga fungsi utama turban atau chador (cadar) sebagai: (1) pelindung mata dari terik matahari; (2) sebagai penahan dari embusan angin gurun yang kuat; dan (3) untuk mengurangi iritasi kulit akibat terekspos sinar matahari. Bentang alam di Krecek memang tidak seekstrem Sahara, namun terik matahari tropis memberikan cukup alasan bagi para ibu-ibu di Krecek untuk menggunakan kerudung.
.
Potret ini sungguh menarik, karena para ibu di Krecek memaknai kerudung dalam bentuknya primer: sepotong kain untuk menahan terik matahari–tanpa beban identitas agama, kelas, atau etiket sosial budaya yang melekat padanya.
.
Menentang [Mono] Simbolisme
Pemilihan kata kerudung (veil) dalam artikel ini adalah sesuatu yang disengaja–karena kata Jilbab atau Hijab terlampau lekat dengan identitas Muslim; dan karena kerudung adalah kosa kata yang digunakan warga Krecek untuk menyebut kain penutup kepala tersebut. Sebuah pertanyaan kemudian terbersit dalam benak kami–lalu apakah pemakaian kerudung tersebut bertentangan dengan identitas mereka sebagai Buddhis?
.
Jawaban dari pertanyaan ini kami dapatkan dalam bentuk setengah bercanda: “karena panas, sekarang jadi Muslim dulu, nanti jadi Buddhis lagi [jika sudah selesai kerja]”. Jawaban santai tersebut mengindikasikan tidak adanya pergesekan identitas dalam internal komunitas Buddhis Krecek terkait penggunaan kerudung untuk keperluan meladang dan mencari rumput. Demikian pula relasi eksternal dengan komunitas luar–baik turis ataupun komunitas Muslim–karena warga tetap menggunakan kerudung, baik ketika ramai pengunjung ataupun ketika mencari rumput ke dusun tetangga.
.
Penggunaan kerudung di Krecek memberikan sebuah interpretasi baru dalam ruang diskusi yang padat simbolisme. Jauh sebelum digunakan sebagai representasi Muslim, tradisi kerudung telah bersinggungan dengan tradisi dan atribut sosial budaya. Beberapa penggunaan kerudung awal dapat ditemukan ribuan tahun yang lalu dan tersebar di seluruh peradaban Persia, Messopotamia, Hellenis, dan Bizantium (Ziolkowski, 2008). Bahkan memiliki fungsi sosial (simbol pemisahan kehidupan privat dengan publik) di masa kekaisaran Achaemenid, Yunani, Parthia, dan Sassanid. Sebagai contoh: dalam tradisi Yunani, perempuan menyelubungi diri mereka ketika mereka muncul di umum, menutupi kepala dan wajah mereka, menandai area terpisah dari kehidupan pribadi dan publik (El-Guindi, 1999).
.
Kehadiran agama Abrahamik mengubah fungsi kerudung dari pemisahan publik-privat menjadi pemisahan baik-buruk. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, bukti-bukti Alkitab mengacu pada pentingnya berjilbab bagi perempuan.
Sedangkan dalam Islam, konsepsi kerudung digunakan sebagai alat untuk mendisiplinkan kehidupan pria dan perempuan Muslim untuk menghilangkan perbuatan-perbuatan buruk yang dipandang dapat berawal dari kecantikan perempuan (Zinira, 2017).
.
Simbolisasi kerudung menjadikan atribut pakaian yang satu ini, selalu berada di tengah pusaran diskursus identitas. Pelarangan kerudung yang diberlakukan oleh beberapa negara sebagai upaya meredam radikalisme adalah salah satu contohnya. Sedangkan bagi negara dengan mayoritas Muslim, kerudung adalah simbol identitas untuk menandai perbedaan dengan agama lain dan sebagai bentuk resistensi terhadap sekularisme. Di Indonesia, sebagai contoh, kerudung sebagai perlawanan pada kebijakan pelarangan penggunaan atribut yang tidak seragam (salah satunya kerudung) di Sekolah Negeri melalui SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982(Endnote 3). Pelarangan ini juga berlaku pada pegawai negeri atas dasar visi modernisasi pemerintahan Orde Baru dan untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. Runtuhnya rejim Orde Baru memberikan ruang ekspresi bagi penggunaan kerudung (dalam konteks ini Jilbab) di Indonesia (Smith-Hefner, 2011).
.
Munculnya kembali konservatisme agama ke ranah sosial politik membawa alur baru dalam wacana kerudung, yaitu penguatan identitas diri atas nilai-nilai Islam–sebagai koneksi dan social belonging dalam masyarakat Muslim mayoritas, dan sebagai konstruksi identitas akar bagi Muslim minoritas (Wagner et al, 2012). Dalam keduanya, juga dalam lingkup wacana yang lebih luas, kerudung kini mewakili mono simbolisme: sebagai representasi identitas perempuan Muslim. Terdapat, setidaknya, dua konsekuensi: (1) menegasikan simbolisasi lain di luar konsepsi Islam (yang melekat dengan fungsi, tradisi dan budaya); dan (2) mempersempit ruang interpretasi identitas.
.
Yang kemudian menjadi menarik adalah, resistensi atas mono simbolisasi tidak harus hadir dalam bentuk protes di jalanan atau wacana akademik formal, tapi di keseharian sederhana sebuah dusun kecil di Temanggung. Tanpa mereka sadari, para ibu di Krecek, telah membuka kembali ruang diskusi terkait identitas dan memberi jalan pada pembacaan baru tentang kerudung dan segala simbol yang melekat padanya.
Aliyuna Pratisti (6 Mei 2022)
........................
Endnote
1. Kerudung (veil) merupakan konsep luas yang mengacu pada kain penutup kepala (head scarf), sedangkan jilbab mengacu pada penutup kepala longgar menutupi hingga dada, hampir serupa dengan istilah khimar. Di sisi lain, istilah hijab tidak mengacu langsung pada pakaian karena memiliki arti sebagai pembatas, namun kini populer digunakan untuk sebagai catch all term untuk penutup kepala untuk wanita Muslim (Zinira, 2017).
.
2. Secara tradisi, perempuan Tuareg tidak menggunakan turban atau penutup kepala karena sistem pembagian kerja tradisional. Namun, sejalan dengan perkembangan jaman dan pengaruh Islam, kini mayoritas perempuan Tuareg menggunakan Tasuwart, turban dengan versi lebih terbuka dari Talgumust.
.
3. Pasal 5 dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 mengatur tentang penyamaan seragam di seluruh sekolah, kecuali daerah yang mengharuskan adanya penyesuaian pada cara berpakaian.
.........................
Refensi:
Chatterjee, D. 2012. Veiled Politics: The Liberal Dilemma of Multiculturalism. The Monist, 95 (1): 127-150. http://www.jstor.com/stable/41419018
Chico, B. 2013. Hats and Headwear around the World: A Cultural Encyclopedia. California: ABC-CLIO
El-Guindi, Fadwa. Veil: Modesty, Privacy and Resistance. NY: Oxford, 1999
Erickson, J. D. 1983. Veiled Woman and Veiled Narrative in Tahar ben Jelloun's the Sandchild. Boundary 2, 20 (1): 47-64. https://www.jstor.org/stable/303176
Fadil, N. 2011. Not-/unveiling as an Ethical Practice. Feminist Review. 98, Islam in Europe: 83-109. https://www.jstor.org/stable/41288862
Motha, S. 2007. Veiled Women and the Affect of Religion in Democracy. Journal of Law and Society, 34 (1): 139-162. https://www.jstor.org/stable/4129585
Smith-Hefner, Nancy. 2011. Javanese Women and The Veil, in Everyday Life in Southeast Asia. Kathleen M. Adams and Kathleen A. Gillogly (eds.). IN: Indiana University Press
Yardim, M. & Hüseyinoğlu, A. 2012. Veil and Burqa in the French Public Sphere. Insight Turkey, 23 (2): 191-212. https://www.jstor.org/stable/10.2307/27028546
Zahedi, A. 2007. Contested Meaning of the Veil and Political Ideologies of Iranian Regimes. Journal of Middle East Women's Studies, 3 (3): 75-98. https://www.jstor.org/stable/10.2979/mew.2007.3.3.75
Zinira, M. 2017. The Politics of Veiling (A Study of Hijab and Female Muslim Identity Representation in Indonesia). Islamic Studies Journal for Social Transformation, 1 (1): 37-48.
Ziolkowski, T. 2008. The Veil as Metaphor and as Myth. Religion & Literature, 40 (2): 61-81. https://www.jstor.org/stable/25746529
............
Photo dari Hendri Ang

 

Comments