Tentu saja, umat Buddha menjawab “TIDAK” karena untuk mengklaim kebenaran tertinggi dari Dharma, agama Buddha harus cocok untuk semua orang. Saya pribadi setuju dengan itu dalam arti ajaran Buddha sangat beragam sehingga dapat melayani berbagai tujuan. Namun, dalam artikel ini, saya akan membahas bahwa dalam banyak kasus, agama Buddha ditafsirkan hanya untuk melayani orang kaya, dengan memberikan analisis dan studi kasus dari Indonesia.
Cornelis Wowor, salah seorang Romo agama Buddha yang terkenal pernah memberikan ceramah tentang “Politik dalam Pandangan Buddhisme”. Beliau mengkritisi kelemahan demokrasi dengan alasan jika kekuasaan ada di tangan rakyat, itu berbahaya. Beliau menyebut Indonesia sebagai negara berkembang yang menurutnya kebanyakan orang tidak bijak karena tidak mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, jika hak suara orang berpendidikan dan tidak berpendidikan sama, kita tidak bisa mendapatkan pemimpin yang bermoral dan cerdas (Jaya Dhamma, 2019).
Menurut sistem demokrasi, pendidikan itu penting dan harus didukung, serta masyarakat harus diperlakukan sama. Kita tidak dapat berasumsi bahwa mereka tidak memahami politik atau akan memilih pemimpin yang buruk karena mereka tidak lulus pendidikan sarjana. Dalam banyak kasus, ini juga membuktikan bahwa orang miskin lebih banyak mengikuti politik daripada orang dari kelas menengah yang hanya bekerja keras seumur hidup.
Selain itu, beliau tampaknya mempromosikan raja (pemimpin) yang bermoral menurut konsep agama Buddha, atau disebut dengan Dhammaraja, yang digambarkan dari Ettavata (dalam Paritta Suci), pemerintah harus memerintah sesuai dengan Dhamma (Raja Bhavatu Dhammiko). Tentu saja wacana “rakyat belum siap, jadi kami (yang bijak) harus memilihkan untuk mereka” selalu digunakan di negara-negara non-demokrasi, Thailand misalnya. Padahal, check-and-balance dalam sistem demokrasi adalah yang terbaik saat ini (Srivithaya, 2020, 46), sedangkan pemerintahan diktator lainnya (meskipun mengklaim memiliki moralitas) tidak dapat dicek dan dikritik oleh masyarakat.
Prof. Chen Chau Ming (juga dikenal sebagai Tan Chao Ming) adalah seorang penganut agama Buddha yang cenderung memandang rendah orang yang tidak berpendidikan. Dalam ceramahnya tentang “Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sosial Politik”, kemiskinan berasal dari dua faktor; (1) karma dari kehidupan sebelumnya dan (2) usaha di masa sekarang. Beliau mencontohkan pengemis dan berkata bahwa ketika seorang pengemis tidak belajar memberi atau berdonasi, berdasarkan ajaran Buddha, ia akan bereinkarnasi sebagai orang miskin lagi. Senada dengan Romo Wowor, Prof. Chen Chau Ming menekankan bahwa pendidikan penting untuk mengubah ide dan gaya hidup masyarakat (Ceramah Dhamma, 2020).
Kedua orang ini menafsirkan agama Buddha, terutama konsep karma, untuk melayani orang kaya. Meskipun mereka juga berbicara tentang pentingnya pendidikan, mereka tidak melihat struktur sosial dan politik yang membatasi kehidupan masyarakat miskin. Bukan karena orang miskin malas dan benci pendidikan, tapi keluarganya tidak mampu. Selain itu, meskipun orang miskin akan sangat rajin dengan bekerja sepanjang hari, mereka tetap mendapatkan sejumlah kecil uang, yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak untuk menabung atau membiayai anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Karena itu, bukan kemalasan atau karma tapi kebijakan pemerintah.
Alih-alih mengkritik pemerintah untuk menyediakan pendidikan dan kebutuhan dasar yang berkualitas bagi masyarakat, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar-kelas sosial. Romo Wowor dan Prof. Ming lebih memilih untuk menyimpulkan bahwa itu adalah karma dari kehidupan sebelumnya. Artinya mereka sendiri memiliki karma yang baik untuk dilahirkan dari keluarga kelas menengah dan bisa mendapatkan pendidikan tinggi.
Ini bukan karma kehidupan sebelumnya, karena banyak negara sejahtera (welfare state) seperti Finlandia dan Denmark dapat mengubahnya melalui politik. Lebih menarik lagi, ketika kehidupan masyarakat menjadi baik karena keputusan politik, menjelaskan kemiskinan melalui karma tidak relevan lagi, sedangkan di negara miskin, agama masih dibutuhkan untuk mengutuk orang miskin, setidaknya tindakan mereka dari kehidupan sebelumnya meskipun tidak bisa dilihat.
Adica Wirawan (2021) menulis artikel “Dari Covid-19, Saya Belajar Memahami Dukkha.” Banyak ketidakpastian yang datang dengan pandemi membuatnya memahami banyak hal. Kata semacam ini selalu datang dari orang-orang kaya yang hidupnya cukup mewah. Mereka memiliki lebih banyak waktu berkualitas dalam rumah dengan keluarga mereka, mereka dapat memastikan bahwa uang tabungan mereka cukup dan belajar atau merayakan ajaran Buddha tentang perubahan (anicca) atau penderitaan (dukkha).
Sementara orang miskin tidak bisa memandang Covid-19 sebagai hadiah, karena itu membuat hidup mereka yang miskin menjadi lebih sulit. Ini juga berarti bahwa sebelum atau selama pandemi, orang miskin tidak dapat memahami ajaran Buddha, meskipun mereka selalu dalam situasi yang sulit. Mereka tidak sempat menulis artikel atau memberi ceramah di depan umum bahwa mereka memahami ajaran Sang Buddha dari Covid-19, tidak punya cukup waktu untuk membaca buku dan berdiskusi dengan orang lain tentang arti penderitaan seperti yang dilakukan orang kaya. Suara mereka selalu tidak didengar. Berdasarkan contoh-contoh ini, dapatkah kita mengatakan bahwa agama Buddha hanya cocok untuk orang kaya?
Referensi
Adica Wirawan. (2021). Dari Covid-19, Saya Belajar Memahami Dukkha. Accessed on 26 April 2021 from https://buddhazine.com/dari-covid-19-saya-belajar-memahami-dukkha/.
Ceramah dhamma. (2020). Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sosial Politik oleh Prof. Tan Chao Ming. Accessed on 26 April 2021 from https://www.youtube.com/watch?v=1jLgjjEeDMQ&t=3225s.
Jaya Dhamma. (2019). Cornelis Wowor: Politik Dalam Pandangan Buddhisme. Accessed on 26 April 2021 from https://www.youtube.com/watch?v=bKBJ6UP_blU.
Srivithaya, S. (2020). Innovation of Democracy Reform Model under the Sovereign Governance of Four Balancing Powers in Thailand. Journal of the Association of Researchers, 21(3), 40-50.
…………………………………
Thanks to Ardi Dharmapala yang bantu edit grammar tulisan ini.
…………………………………
Tulisan oleh Tee Jesada
Tee adalah mahasiswa dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), UGM, Yogyakarta. Dia tertarik pada agama dan politik. Dia bisa dihubungi melalui jesada.tee@gmail.com
Comments
Post a Comment